(Karya Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri)
KH. Ahmad Mustofa Bisri atau lebih sering dipanggil dengan Gus Mus (lahir di Rembang, Jawa Tengah,10 Agustus 1944) adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang dan menjadi Rais Syuriah PBNU. Ia adalah salah seorang pendeklarasi Partai Kebangkitan Bangsa dan sekaligus perancang logo PKB yang digunakan hingga kini. Ia juga seorang penyair dan penulis kolom yang sangat dikenal di kalangan sastrawan. Disamping budayawan, dia juga dikenal sebagai penyair.
Salah satu karya beliau adalah cerpen dengan judul Gus Ja'far dan Kiyai Tawakkal. Adapaun cerpen tersebut adalah sebagai berikut:
Gus Ja'far dan Kiyai
Tawakkal
Diantara
putra-putra Kiai Saleh, pengasuh pesantren “Sabilul Muttaqin” dan sesepuh di
daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin
Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai
keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon
beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah
mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem,
bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.
“Kata
kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri”, cerita Kang Solihin suatu
hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh
itu. “Saya sendiri tidak tahu apa maksudnya”
“Tapi,
Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering
mengikuti pengajian Subuh Kiai Saleh, “Matanya itu lho. Sekilas saja beliau
melihat kening orang, kok langsung bias melihat rahasianya yang tersembunyi.
Kalian ingat, Sumini anaknya penjual rujak di terminal lama yang dijuluki
perawan tua itu. Sebelum dilamar orang sabrang, kan ketemu Gus
Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, ‘Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah
ada yang ngelamar ya?!’. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang
melamarnya.”
“Kang
Kandar kan juga begitu,” timpal Mas Guru Slamet,
“kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang
kebun SD IV itu, ‘Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah
capek menghirup nafas ya?!’ Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal.”
“Ya.
Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar,” sahut Ustadz Kamil, “nggak
tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar.”
“Saya
malah mengalami sendiri,” kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah
kepingin ikut bicara, “waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar
bilang kepada saya, ‘Wah saku sampeyan kok mondol-mondol, dapat proyek besar
ya?!’ Padahal saat itu saku saya justru sedang kempes. Dan percaya atau tidak,
esok harinya, saya memenangkan tender yang diselenggarakan pemda tingkat
propinsi.”
“Apa
yang begitu itu yang disebut ilmu kasyaf ?” tanya Pak Carik yang
sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
“Mungkin
saja,” jawab Ustadz Kamil, “makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut
dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu.”
***
MAKA
ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para
santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di
pesantren seperti Kang Solikin, yang selama ini merasa dekat dengan beliau.
Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali
tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan
tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang
berbau ramalan. Ringkas kata dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.
“Jangan-jangan
ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu,” komentar Mas Guru Slamet
penuh penyesalan, “wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?”
“Kemana
beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu,” kata Lik Salamun, “kalau
saja kita tahu kemana beliau, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi
pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah.”
“Tapi
bagaimana pun, ini ada hikmahnya,” ujar Ustadz Kamil, “paling tidak kini, kita
bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa
mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka jika kita ingin
mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini, hingga sikapnya berubah atau
ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau.”
Begitulah,
sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jumat sehabis wiridan salat Isya, dimana
Gus Jakfar prei, tidak mengajar, rombongan santri kalong sengaja mendatangi
rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus
Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi
sekat berupa keseganan, was-was, dan rasa takut.
Setelah
ngobrol kesana-kemari akhirnya Us tadz Kamil berterus terangmengungkapkan
maksud utama kedatangan rombongan, “Gus, di samping silaturahmi seperti biasa,
malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami
penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan.”
“Perubahan
apa?” tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti, “Sikap yang mana? Kalian
ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah.”
“Dulu
sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang,” tukas Mas Guru Slamet,
“kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca bahkan diminta
pun tak mau.”
“O,
itu,” kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera
meneruskan bicaranya. Diam agak lama, baru setelah menyeruput kopi di depannya,
dia melanjutkan: “Ceritanya panjang.” Dia berhenti lagi, membuat kami tidak
sabar, tapi kami diam saja.
“Kalian
ingat, ketika saya lama menghilang?” akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami
yakin dia benar-benar siap untuk bercerita, maka serempak kami mengangguk.
“Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali
sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari
sini sekitar 200 km ke arah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam
mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah
lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata
sudah disebut kiai di daerah masing-masing.”
“Terus
terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk
berkenalan dan kalau bisa berguru kepada wali Tawakkal itu. Maka dengan
diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang
ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau.
Ternyata ketika sampai disana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku
tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak kesana-kemari,
ada seorang tua yang memberi petunjuk. ‘Cobalah nakmas ikuti jalan setapak
disana itu,’ katanya, ‘Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil,
terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat
gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan
nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal
seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo.
Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?’ ‘Kiai Tawakkal.’ ‘Ya,
kiai Tawakal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.’ Saya pun mengikuti
petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk
dari bambu. Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya
menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya
yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah
saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata
penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sebagai orang tua.
Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan
kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari
mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah.”
Tiba-tiba
Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, “Hanya
ada satu hal yang membuat saya terkejut dan terganggu. Saya melihat di kening
beliau yang lapang, ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca
tulisan dengan huruf yang cukup besar berbunyi ‘Ahli neraka’.
Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu
gamblang. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya
keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak
kiai yang lain, disurat sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-
yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus
melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin
jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila.”
“Akhirnya
niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya
sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki
dan memecahkan keganjilan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal,
saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang mencurigakan. Kegiatan rutinnya
sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami
salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat
seperti dhuha, tahajjud, witir, dan sebagainya, mengajar
kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui
tamu; dan semisalnya. Kalau pun beliau keluar biasanya untuk memenuhi undangan
hajatan atau-dan ini sangat jarang sekali mengisi pengajian umum. Memang ada
kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri
yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal
sejak muda. Semacam lelana brata kata mereka.”
“Baru
setelah beberapa minggu tinggal di ‘pesantren bambu’, saya mendapat kesempatan
atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir
inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini
mengganggu saya.” “Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat kiai
keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin
beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati,
saya pun membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak
terlalu jauh. Dari jalan setapakhingga ke jalan desa, kiai terus berjalan
dengan langkah yang tetap tegap. Akan kemana beliau gerangan? Apa ini yang
disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin
berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba kiai menoleh ke belakang.”
“Setelah
melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut
belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru
sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan
bengong, saya mendekati warung terpencil dengan penerangn petromak itu. Dua
orang wanita-yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua dengan
dandanan yang menor, sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit
kesana-kemari. Tidak mungkin kiai mampir ke warung ini, pikir saya; ke warung
biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan
kemesuman ini. ‘Mas Jakfar!’ tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak
asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masya Allah, saya
hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul,
mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah.
Dengan kikuk dan pikiran tak karuwan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri
kiai saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua
wanita menor menyambut saya dengan senyumpenuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh
orang di sampingnya untuk bergeser, ‘Kasi kawan saya ini tempat sedikit!’.
Lalu, kepada orang- orang yang ada di warung, kiai memperkenalkan saya.
Katanya: ‘Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari
pengalaman katanya.’ Mereka yang duduknya dekat, serta merta mengulurkan
tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh, melambaikan
tangan.”
“Saya
masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika
tiba-tiba saya dengar kiai menawari, ‘Minum kopi ya?’ Saya mengangguk asal
mengangguk. ‘Kopi satu lagi, yu!’ kata kiai kemudian kepada wanita warung
sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. ‘Silakan! Ini namanya rondo royal,
tape goreng kebanggaan warung ini!’ Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala
asal mengangguk.”
“Kiai
Tawakkal kemudian asyik kembali dengan ‘kawan-kawan’nya dan membiarkan saya
bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal
yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain, bisa berada di sini.
Akrab dengan orang- orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah
yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang
sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban
dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah
mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba
sikap pandangan saya terhadap beliau berubah. ‘Mas, sudah larut malam,”
tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya, ‘kita pulang, yuk!’ Dan
tanpa menunggu jawaban saya, kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri,
melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun
mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebun sengon, Kiai Tawakkal tidak
menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui, ‘Biar cepat, kita mengambil jalan
pintas saja!’ katanya.”
“Kami
melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampaidi sebuah sungai.
Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal
berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja.
Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung.
Beliau melambai, ‘Ayo!’ teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian
berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata
Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. ‘Kita
istirahat sebentar,’ katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian, ‘kita
masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.’ Setelah
saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, kiai berkata
mengejutkan, ‘Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kau cari? Apakah kau
sudah menemukan pembenar dari tanda yang kau baca di kening saya? Mengapa kau
seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda, menjadi ragu
terhadap kemahiranmu sendiri?’ Dingin air sungai rasanya semakin menusuk
mendengar rentetan pertanyaan-pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya
tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara. ‘Anak muda,
kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda ‘Ahli neraka’
di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang
menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena pertama, apa yang
kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening.
Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik
Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke
sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke sorga atau neraka,
sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani
menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan
bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang sebelah mata itu, pasti masuk
neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita
ingin berdekat-dekat denganNya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan
kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya.
Bukankah begitu?’ Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus
berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya, ‘Kau harus lebih berhati-hati
bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah
tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka
yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau
bayangkan bersikap takabbur, ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung
membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan
kelebihan, godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi
bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.’ Malam itu saya
benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang
selama ini sudah saya ketahui. ‘Ayo, kita pulang!’ tiba-tiba kiai bangkit, ‘Sebentar
lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.’ Saya tidak
merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa
ini.”
“Ketika
saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan
bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah
surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu
dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal.
Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang
pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah
sembahyang, seseorang menghampiri saya, ‘Apakah sampeyan Jakfar?’ tanyanya.
Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang
ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. ‘Ini titipan Mbah Jogo,
katanya milik sampeyan.’ ‘Beliau dimana?’ tanya saya buru-buru. ‘Mana saya
tahu?’ jawabnya, ‘Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang
tahu dari mana beliau datang dan kemana beliau pergi.’ Begitulah ceritanya. Dan
Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil merubah sikap saya itu tetap
merupakan misteri.”
Gus
Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi mendengarkan, masih
diam tercenung, sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya.
***
Rembang, Mei 2002
Berikut Video dari Cerpen Gus Ja'far dan Kiyai Tawakkal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar