Ada sebuah kisah yang sering saya dengar dalam
ceramah-ceramah -juga saya baca dalam beberapa tulisan, tetapi tak saya ketahui
sumber pengambilan cerita itu dan tak saya temukan pula dalam kitab-kitab yang
dimungkinkan memuat kisah tersebut …
Kisah tanpa sumber itu bertutur tentang mimpi ‘Abdullah bin al-Mubarak saat tertidur selepas melaksanakan ibadah haji. Dalam mimpinya, ‘Abdullah bin al-Mubarak melihat dua orang malaikat menyebutkan seorang tukang sol sepatu di negeri Damaskus yang bernama ‘Ali bin al-Muwaffaq. Kata malaikat, tukang sol sepatu itulah satu-satunya orang yang ibadah hajinya diterima oleh Allah padahal dia sama sekali tidak ikut melaksanakan ibadah haji …
Kemarin, akhirnya saya dapati juga sumber dari kisah tersebut, yakni kitab Tadzkirah al-Auliya’ karangan Farid ad-Din al’-Aththar an-Naisaburi, seorang sufi dari Persia. Dalam kitab tersebut, Farid ad-Din al-‘Aththar menuturkan kisah tersebut tanpa sanad. Patut diketahui pula bahwa Farid ad-Din al-‘Aththar menuliskan kitab tersebut dalam bahasa Persia, tetapi –seiring waktu- telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (yakni terdapat beberapa manuskrip berbahasa Arab sebagai terjemahan dari kitab tersebut) …
Kenyataan yang saya temukan itu, yakni sumber aslinya yang berbahasa Persia dan ketiadaan sanad, membuat saya semakin yakin bahwa kisah tersebut memang tidak ada asalnya dari ‘Abdullah bin al-Mubarak. Seindah apa pun atau seberkesan apa pun, tetap saja kisah tersebut tidak bisa dikatakan benar dan sahih …
Berikut saya nukilkan kisah tersebut dari kitab berbahasa Arab dengan judul Tadzkirah al-Auliya’ halaman : 230 – 232 (alihbahasa ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashili al-Wasthani asy-Sayafi’I, tahqiq oleh Muhammad Adib al-Jadir, dan tashhih Ahmad Aram) …
Dinukil bahwasanya ‘Abdullah bin al-Mubarak berkata:
Pada suatu tahun aku melaksanakan ibadah haji dan menyempurnakan manasiknya. Saat kududuk di masjid al-haram selepas melaksanakan rangkaian manasik haji, aku terserang kantuk dan tertidur. Dalam mimpiku, aku melihat dua orang malaikat yang turun dari langit. Salah seorang dari malaikat itu bertanya kepada malaikat lainnya, “Berapa orangkah yang melaksanakan ibadah haji pada tahun ini?” Malaikat yang ditanya menjawab, “Enam ratus ribu orang.” Malaikat pertama bertanya lagi, “Berapa orang dari mereka yang ibadah hajinya diterima?” Malaikat kedua menjawab, “Tak seorang pun dari mereka yang ibadah hajinya diterima.”
Pada suatu tahun aku melaksanakan ibadah haji dan menyempurnakan manasiknya. Saat kududuk di masjid al-haram selepas melaksanakan rangkaian manasik haji, aku terserang kantuk dan tertidur. Dalam mimpiku, aku melihat dua orang malaikat yang turun dari langit. Salah seorang dari malaikat itu bertanya kepada malaikat lainnya, “Berapa orangkah yang melaksanakan ibadah haji pada tahun ini?” Malaikat yang ditanya menjawab, “Enam ratus ribu orang.” Malaikat pertama bertanya lagi, “Berapa orang dari mereka yang ibadah hajinya diterima?” Malaikat kedua menjawab, “Tak seorang pun dari mereka yang ibadah hajinya diterima.”
‘Abdullah bin al-Mubarak berkata lagi:
Mendengar ucapan malaikat tersebut, hatiku berguncang dan benar-benar merasa pedih. Aku berkata (dalam hati), “Orang-orang yang melaksanakan ibadah haji itu itu telah berkumpul dengan berlelah-lelah, dan mereka berdatangan dari seluruh penjuru yang jauh seraya membelah gurun, lantas mereka dianggap sia-sia di sisi Allah?!?” (Kudengar lagi) Malaikat kedua berkata, “Ada seorang lelaki tukang sol sepatu yang tinggal di Damaskus, namanya ‘Ali bin al-Muwaffaq (1). Dia tak ikut melaksanakan ibadah haji. Akan tetapi, Allah menuliskan baginya pahala ibadah haji secara sempurna, lalu dengan sebab keberkahan ‘Ali bin al-Muwaffaq ini, Allah pun berkenan menerima ibadah haji orang-orang yang melaksanakan ibadah haji ini.”
‘Abdullah bin al-Mubarak pun terbangun dari tidurnya, lalu berkata lagi:
Aku pun pergi menuju Damaskus lantaran tak ada yang lebih utama untuk kutemui selain orang tersebut. Aku akan mencari tahu darinya tentang amal-amal yang diperbuatnya sehingga aku pun mengetahui amal apa yang membawanya kepada derajat tersebut sampai-sampai dituliskan baginya pahala haji secara sempurna bahkan diterima pula ibadah haji kebanyakan kaum muslimin lantaran keberkahannya. Kemudian sampailah aku di Damaskus dan berhenti tanpa petunjuk di depan pintu sebuah rumah. Aku mengetuk pintu tersebut, lalu keluarlah seseorang dari dalam rumah. Aku pun menanyakan namanya, lalu dia menjawab, “Namaku ‘Ali bin al-Muwaffaq.” Aku bertanya lagi, “Apa pekerjaanmu?” ‘Ali bin al-Muwaffaq menjawab, “Aku seorang tukang sol sepatu. Pekerjaanku memperbaiki sepatu (2).” Aku berkata, “Aku ingin berbicara denganmu.” Kebetulan di situ ada masjid. Kami berdua pun memasuki masjid itu. Aku beritahukan kepadanya tentang mimpiku, dan kukatakan kepadanya, “Aku adalah ‘Abdullah bin al-Mubarak.” Begitu mendengar akan namaku, dia pun berteriak dan pingsan. Setelah dia sadar kembali, kukatakanlah kepadanya, “Beritahukanlah kepadaku tentang keadaanmu (sampai-sampai kau disebut dalam mimpiku).”
Lantas ‘Ali bin al-Muwaffaq pun bercerita:
Sejak dari tiga puluh tahun yang lalu, aku bertekad untuk mengunjungi Ka’bah dan melaksanakan ibadah haji. Aku benar-benar sangat mementingkan hal itu (3). Aku selalu menyisihkan sedikit uang dari hasil pekerjaanku memperbaiki sepatu hingga terkumpullah uang sejumlah tiga ratus lima puluh dirham. Aku bermaksud untuk berangkat haji pada tahun kita ini. Aku melihat dirhamku belumlah cukup. Kukatakan pada diriku, “Aku bersabar untuk tetap mengumpulkan dirham tahun ini, semoga saja bisa kudapatkan sebanyak lima puluh dirham lagi agar genaplah menjadi empat ratus dirham. Dengan demikian aku akan melaksanakan ibadah haji, insya Allah ta’ala.” Saat itu istriku sedang hamil. Suatu hari, istriku mencium bau masakan dari salah satu rumah tetanggaku. Istriku sangat ingin untuk bisa mencicipi makanan itu. Dia pun memintaku untuk mendapatkan makanan itu. Aku lantas mendatangi rumah yang mengeluarkan aroma masakan tersebut. Aku meminta sedikit dari makanan tersebut seraya memberitahu tentang keinginan istriku yang sedang hamil. Pemilik rumah yang kudatangi adalah seorang perempuan. Begitu mendengar permintaanku, dia lantas menangis dan berkata, “Aku mempunyai beberapa orang anak yang masih kecil. Mereka yatim tak lagi punya ayah. Sudah seminggu ini mereka tak makan. Tadi aku memasuki area puing-puing reruntuhan, lalu kutemukan di sana bangkai keledai. Aku pun mengambil sepotong dagingnya. Daging itulah yang ada di dalam periuk itu, dan itu halal bagi kami tetapi haram bagi kalian.” Setelah mendengar kisah perempuan tersebut, hatiku pun terbakar dan merasa iba dan kasihan terhadap mereka. Aku pun kembali ke rumah dan mengambil dirham simpananku yang berjumlah tiga ratus lima puluh dirham. Aku membawanya kepada perempuan itu dan memberikan semua kepadanya untuk nafkah dirinya dan anak-anaknya. Aku mencukupkan bagi diriku dengan berderma seraya mengharapkan wajah Allah atas ibadah haji yang tadinya ingin kulakukan. Kukatakan (pada diriku sendiri), “Dermaku inilah yang akan menunaikan bagiku kewajiban haji dan kedudukannya dengan pertolongan Allah.”
(Mendengar penuturan ‘Ali bin al-Muwaffaq) itu, berkatalah ‘Abdullah bin al-Mubarak, “Kau benar. Malaikat yang berbicara dalam mimpiku pun benar, dan yang Maha Kuasa berlaku adil dalam hukum dan keputusan. Sungguh Allah lebih mengetahui hakikat segala sesuatu.” –SELESAI …
* **
Demikianlah kisah yang terdapat dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’ tersebut, sama sekali tanpa sanad dan sumber pengambilan kisah dari kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan. Dengan demikian, saya meyakini, bahwa kisah tersebut sama sekali tidak bisa disandarkan kepada ‘Abdullah bin al-Mubarak dan sama sekali tak berasal darinya –rahimahullah … wallahu a’lamu …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar