Ulama salaf dalam
memanfaatkan waktunya, selain dengan membaca dan menulis, juga melakukan amalan ibadah lainnya.
Imam al-Badr bin
Jama’ah bertanya tentang cara tidurnya Imam Nawawi. Imam Nawawi
menjawab, “Apabila rasa kantuk datang, saya jatuhkan kepala sebentar di
meja tempat kitab yang sedang saya pelajari, kemudian saya bangun lagi.”
Ibnu Jauzi pernah
berkata, “Seumpama saya berkata bahwa saya telah membaca 20.000 jilid
kitab, hal ini benar adanya. Bahkan, jumlah kitab yang saya baca lebih banyak
dari itu karena sekarang ini saya masih dalam proses menuntut ilmu.” Cucu Imam Ibnu Jauzi
pernah bercerita, “Menjelang akhir hayatnya, saya pernah mendengar kakek
berkata di atas mimbar, “Jari-jari tanganku ini telah menghasilkan dua ribu
jilid kitab. Selama hidupku ada seratus ribu orang yang menyatakan diri tobat
di hadapanku dan dua puluh ribu Yahudi dan Nasrani yang menyatakan diri masuk
Islam di hadapanku.”
Imam Ibnu Aqil pernah
berkata, “Saya selalu berusaha untuk menyingkat waktu untuk makan.
Sehingga saya lebih senang makan roti keras dicampur dengan air daripada harus
makan roti. Karena roti keras dicampur dengan air lebih cepat bila mengunyah
roti.” Dengan cara ini, waktu ia untuk membaca kitab dan menulis akan
lebih banyak. Beliau juga pernah berkata, “Saya mempunyai komitmen untuk tidak
menyia-nyiakan umur. Jika mulutku tidak melakukan diskusi dan mataku tidak melakukan
aktivitas membaca, maka pikiranku tetap bekerja, meskipun sedang berbaring
istirahat. Saya tidak akan bangun, kecuali muncul ide yang akan saya tulis.
Sungguh, ketika saya sudah mencapai umur delapan puluh tahun, semangat kuat
untuk meningkatkan ilmu jauh lebih besar bila dibandingkan saat saya, saya
masih berumur dua puluh tahun.”
Imam as-Sakhawai
berkata, “Ketika Imam Ibnu Hajar al-Asqalani melakukan perjalaan menuju Syam,
ia membaca kitab Mu’jam atj-Thabrani ash-Shagir selepas shalat zhuhur hingga
shalat ashar. Ia menamatkannya dalam satu majelis itu. Padahal, kitab tersebut
memuat sekitar lima ratus halaman.
Al-Fatih bin Khaqan
adalah salah satu tokoh yang sangat menghargai waktu. Ia selalu menyimpan
kitabnya di dalam tas setiap mengikuti majelis ilmiah yang diadakan oleh
khalifah al-Mutawkkil. Ketika ia hendak kencing atau shalat, ia harus
meninggalkan majelis tersebut. Dalam perjalanan menuju kamar kecul atau tempat
shalat, ia menyempatkan diri untuk membaca buku yang ada di dalam tasnya itu.
Ketika kembali ke majelis ilmiah, ia juga melakukan hal yang sama.
Sebelum Ibnu Nafis
mulai mengarang, ia selalu menyiapkan pena siap pakai sebanyak mungkin. Ketika
mulai menulis, ia menghadapkan mukanya ke tembok lalu ia tumpahkan semua
pikirannya ke atas kertas. Bila pena-nya masih lancip, tulisannya sangat cepat.
Ibnu Qayyim, salah
seorang murid Ibnu Taimiyyah, pernah berkata, “Aku sangat kagum sekali akan
kehebatan Ibnu Taimiyyah dalam hal akhlaknya, ucapannya, keberaniannya, dan
tulisannya. Setiap hari beliau selalu mengarang, sebagaimana halnya orang yang
menyusun sesuatu secara kolektif dan memperbanyaknya.”
Abdurahman Ibnu Taimiyah
saudara gurunya Ibnu Taimiyyah meriwayatkan dari bapaknya, Abdul Halim, dia
berkata, “Dahulu kakekmu, Abdul Barakat, apabila mau masuk ke toilet untuk
buang hajat, maka beliau menyuruhku untuk membacakan suatu buku dengan bacaan
yang keras agar dia bisa mendengar.”
Ibnu Qayyim menuturkan
seperti apa yang saya ketahui Ibnu Taimiyah sering menderita sakit kepala dan
demam. Saat sakit beliau menaruh buku di samping kepalanya. Jika tersadar, ia
membaca buku itu. Namun jika merasa tidak mampu menguasai dirinya, dia letakkan
buku itu. Pada suatu hari, dokter menemuinya dalam keadaan demikian. Dokter lalu
berkata, “Anda tidak boleh melakukan perbuatan ini. Anda harus membantu diri
anda sendiri, sedangkan perbuatan ini akan menyebabkan anda lama sembuh.”
Ibnu Jauzi menasehati
orang alim dan pencari ilmu, “Sebaiknya kamu mempunyai tempat khusus di rumahmu
untuk menyendiri. Di sana kamu bisa membaca lembaran-lembaran bukumu dan
menikmati indahnya petualangan pikiranmu. Membaca dan menelaah kehidupan orang
shalih juga mampu membangkitkan semangat baru dalam diri kita. Bisa dikatakan,
membaca dan menelaah kehidupan mereka, hampir sama dengan kita menziarahi dan
berhadapan dengan mereka sehingga kita pun menerima barakah dari Allah.
Imam Ibnu Jauzi
berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari kehidupan orang yang tidak punya
cita-cita tinggi hingga bisa diteladani orang lain, yang tidak punya sikap wara
yang bisa ditiru oleh orang yang ingin berzuhud. Demi Allah hendaklah kalian
mencermati perilaku suatu kaum, mendalami sifat dan berita tentang mereka.
Karena memperbanyak meneliti kitab-kitab mereka adalah sama dengan melihat
mereka. Bila engkau mengatakan telah mendalami dua puluh ribu jilid buku,
berarti engkau telah melihat mereka melalui kajian engkau terhadap tingkat
semangat mereka, kepandaian mereka, ibadah mereka, keistimewaan ilmu mereka
juga tidak pernah diketahui orang yang tidak pernah membacannya.
Abu Bakar Al-Ambari
berkata, “Abu Ubaid telah membagi malam menjadi tiga bagian. Dia shalat
disepertiga malam, tidur di sepertiga malam, dan menulis buku di sepertiga
malam.
Imam Adz Dzahabi berkata,
Ibnu Mubarak lebih banyak berdiam diri di dalam rumahnya. Beliau didalam rumah
membaca buku. Oleh karena itu seseorang bertanya kepadanya, “Apakah engkau
tidak merasa kesepian? Bagaimana merasakan kesepian sedang Rasulullah dan para
sahabatnya selalu bersamaku, tegas Ibnu Mubarok. Ibnu Mubarak pernah
mengatakan, “Barangsiapa ingin mengambil faedah ilmu, maka bacalah
buku-bukunya.
Ibnu Taimiyah, wafat
tahun 727 H dalam usia 67 tahun. Dalam biografi hidupnya yang ditulis Ibnu
Syakir Kutubi terdapat keterangan bahwa karya yang dihasilkan Ibnu Taimiyyah
hampir mencapi 300 jilid. Imam Dzahabi berkata, “Sesungguhnya, karangan Ibnu
Taimiyyah mencapai 500 jilid.” Akan tetapi, pendapat yang benar adalah
pendapatnya Hafizh Ibnu Rajab yang terdapat dalam karyanya Dzail Thabaqat
al-Hanabalah, “Karya Ibnu Taimiyah terlampau banyak dan tidak mungkin bagi
seorang pun yang dapat menghitungnya.”
Beliau juga pernah
berkata, ” Hendaknya seseorang berusaha memiliki anak yang akan berdzikir
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sepeninggalannya, sehingga pahalanya
juga dapat ia rasakan. Atau, hendaklah ia menulis kitab tentang ilmu. Sebab
menulis ilmu ibarat anaknya yang akan tetap kekal. Dari kitabnya akan dinukil
sesuatu yang dapat diikuti orang lain, inilah yang tak pernah mati. Suatu kaum
telah meninggal sedangkan ditengah-tengah manusia ia masih hidup.
Menulis akan menembus
ruang dan waktu, Ibnu Jauzi berkata aku menyimpulkan manfaat menulis banyak
daripada manfaat mengajar dengan lisan. Dengan lisan aku bisa menyampaikan ilmu
hanya pada sejumlah orang, sedangkan dengan tulisan aku dapat menyampaikan
kepada orang yang tidak terbatas yang hidup seseudahku
Imam Adz-Dzahabi
mengatakan, “Imam Al-Khtaib Al-Bagdad berjalan sedang tangannya memegang satu
juz buku yang ia baca.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar