Ulama besar ini memiliki nama lengkap Abu Muhammad Sa’id bin Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb bin Amru Al-Makhzumi Al-Qurasyi Al-Madani. Ia berasal dari Bani Makhzum, bangsawan suku Quraisy di kota Makkah. Ayahnya Musayyib bin Hazn Al-Makhzumi dan kakeknya Hazn Al-Makhzumi adalah dua orang sahabat radhiyallahu ‘anhuma yang berhijrah ke kota Madinah.
Kakeknya Hazn Al-Makhzumi gugur sebagai syahid dalam pasukan Khalid bin Walid Al-Makhzumi saat memerangi nabi palsu Musailamah Al-Kadzab dan pengikutnya di wilayah Yamamah pada tahun 12 H.
Sa’id bin Musayyib dilahirkan tahun 15 H di kota Madinah pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu. Sa’id bin Musayyib belajar ilmu-ilmu agama dari para ulama senior generasi sahabat di kota Madinah. Tak heran jika ia dikenal dalam sejarah Islam sebagai penghulunya generasi tabi’in dan salah satu dari tujuh ulama senior kota Madinah (al-fuqaha’ as-sab’ah). Ia telah diberi izin memberi fatwa di saat sejumlah ulama sahabat masih hidup. Ia adalah menantu dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Sa’id bin Musayyib adalah seorang ulama besar tabi’in yang sangat tekun beribadah, hidup zuhud dan wara’, serta berani menyuarakan kebenaran meski harus mendapatkan siksaan dari para penguasa Daulah Umawiyah.
Ketekunan ibadahnya sangat terkenal luas di dunia Islam. Pada zaman tabi’in sulit sekali menemukan ulama sekaligus ahli ibadah yang bisa disejajarkan dengan Sa’id bin Musayyib. Terlebih pada zaman sekarang.
Imam Al-Awza’i berkata: “Sa’id bin Musayyib memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun dari generasi tabi’in selain dirinya, yaitu selama empat puluh tahun ia belum pernah kelewatan dari shalat berjama’ah di masjid. Dua puluh tahun diantaranya ia tidak pernah melihat tengkuk orang-orang [maksudnya selalu berada di shaf pertama sehingga tidak melihat siapa orang di belakangnya].”
Sa’id bin Musayyib bercerita sendiri: “Saya tidak pernah terlewat dari takbiratul ihram imam selama lima puluh tahun. Dan saya senantiasa tidak pernah melihat tengkuk orang-orang selama lima puluh tahun.”
Burd Mawla Sa’id bin Musayib berkata: “Tidaklah dikumandangkan adzan selama empat puluh tahun melainkan Sa’id bin Musayib telah berada di dalam masjid.”
Utsman bin Hakim berkata: “Saya telah mendengar Sa’id bin Musayyib berkata: ‘Tidaklah muadzin mengumandangkan adzan sejak tiga puluh tahun yang lalu melainkan aku telah berada di dalam masjid.”
Abu Harmalah berkata: “Saya telah mendengar Sa’id bin Musayyib berkata: ‘Saya tidak pernah terlewat dari shalat berjama’ah selama empat puluh tahun.”
Ibnu Idris berkata: “Sa’id bin Musayyib selama lima puluh tahun melaksanakan shalat Shubuh dengan wudhu shalat Isya’.”
Maksudnya adalah wudhu’ Isya’ belum batal dan selama semalam suntuk Sa’id bin Musayyib sibuk dalam shalat malam dan tilawah Al-qur’an sampai tiba waktu shalat Subuh.
Ashim bin Abbas berkata: “Saya telah mendengar Sa’id bin Musayib membaca Al-Qur’an di waktu malam dalam waktu rehatnya dan ia membaca banyak [juz Al-Qur’an].”
Imam Ibnu Sa’ad, Ibnu Al-Jauzi Al-Baghdadi, Abu Nu’aim Al-Asfahani, dan Adz-Dzahabi meriwayatkan bahwa Sa’id bin Musayib melakukan shaum sunnah secara berturut-turut kecuali pada hari yang dilarang shaum; Idul Fitri, Idul Adha dan hari-hari tasyriq.
Ibnu Harmalah berkata: “Saya telah mendengar Sa’id bin Musayib berkata: ‘Saya telah menunaikan haji sebanyak 40 kali.”
Inilah sebagian gambaran ketekunan ibadah ulama besar generasi tabi’in yang wafat pada tahun 94 H dalam usia 79 tahun tersebut. Semoga kisah keteladannya mampu melecut semangat ibadah kita di bulan suci Ramadhan ini. Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber:
Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, 4/217-225
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, 12/471-474
Shalih Ahmad Asy-Syami, Tahdzib Hilyat Al-Awliya’ wa Thabaqat Al-Ashfiya’, 1/343-348
Tidak ada komentar:
Posting Komentar